Semua orang kenal Aceh. Provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatera ini sangat dikenal dengan adat
istiadat dan kekayaan alamnya. Konon katanya provinsi ini pun dikenal
sebagai provinsi yang masyarakatnya sangat taat beribadah. Benarkah itu?
Silakan Anda teliti sendiri!
Sebenarnya
banyak hal yang belum diketahui dari Aceh. Provinsi ini seolah
menyimpan misteri yang tampaknya tak akan habis diungkap sampai dengan
akhir zaman nanti. Banyak orang ingin menyingkap misteri tentang Aceh.
Bukan hanya masyarakat Aceh itu sendiri, melainkan juga masyarakat luar
Aceh. Mereka tampaknya sangat tertarik untuk mengetahui lebih banyak
tentang Aceh. Bukti dari ketertarikan mereka tentang Aceh adalah adanya
semacam usaha untuk mengungkap misteri-misteri tentang Aceh itu.
Salah satu misteri yang tampaknya belum terpecahkan sampai dengan sekarang adalah perihal asal mula nama Aceh.
Konon katanya nama Aceh merupakan singkatan dari Arab, Cina, Endia
(India), Hindia Belanda. Akan tetapi, singkatan-singkatan ini tampaknya
tidak memiliki sumber yang jelas.
Sebenarnya
berkaitan dengan nama Aceh ini banyak ahli yang telah melakukan
penelitian. Salah satu ahli yang tertarik meneliti tentang Aceh adalah
Denis Lombard.
Berkaitan dengan nama Aceh, Lombard menyebutkan bahwa nama Aceh baru disebut dengan pasti sekali dalam Suma Oriental yang dikarang di Malaka sekitar tahun 1950 oleh Tomé Pires yang berkebangsaan Portugis. Lombard selanjutnya mengatakan bahwa kata Aceh dieja Achei. Beberapa tahun kemudian, dalam buku yang ditulis oleh Barros yang berjudul Da Asia disebutkan bahwa pengejaan kata Aceh dengan Achei telah mengalami perubahan yang berbentuk adanya penyengauan bunyi pada akhir kata, yaitu Achem.
Penyengauan bunyi ini juga terdapat dalam naskah-naskah Eropa abad 16,
17, dan 18. Di dalam naskah-naskah Eropa pada abad-abad ini kata Aceh dieja Achin dan Atchin.
Dalam sistem transkripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, kata Aceh ditulis Acih. Lombard mengungkapkan bahwa penulisan kata Aceh dengan Acih adalah penulisan yang sangat tepat jika ditinjau secara ilmiah. Dalam hal ini, Lombard memberikan alasan sebagai berikut.
Sesuai dengan sistem tranksripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, penulisan kata Aceh lebih tepat ditulis Acih.
Tulisan ini memang yang paling baik mengungkapkan ucapannya dewasa ini.
Setiap fonem dicatat dengan satu huruf saja, dan huruf i lebih baik daripada huruf e untuk mencatat huruf hidup kedua yang ucapannya sangat mendekati /i/….
Selanjutnya, sekitar akhir abad ke-19, menjelang peperangan yang bakal menumpahkan darah di seluruh bagian utara Sumatra, nama tanah Aceh
dipakai untuk menunjukkan seluruh daerah yag membentang dari ujung
utara pulau itu sampai dengan suatu garis khayal yang menghubungkan
Tamiang di pantai Timur dengan Barus di Pantai Barat. Menurut Snouck
Hurgronje, penduduknya membandingkan bentuk wilayah mereka yang
kira-kira menyerupai segi tiga itu dengan bentuk jeuèe (tampah tradisional).
Selain misteri tentang nama Aceh,
provinsi ini juga juga masih menyimpan misteri perihal asal mula bahasa
Aceh. Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian. Hasil penelitian
mereka menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa
Campa yang sampai sekarang masih digunakan di Vietnam, Kamboja, dan
Hainan di Cina. Adanya hubungan bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa Campa
yang ada di Vietnam, Kamboja, dan Hainan di Cina tampaknya cukup
beralasan. Berdasarkan catatan sejarah, seorang pangeran dari Campa, Šah
Pu Liaŋ (liŋ) diusir dari ibukotanya oleh bangsa Vietnam. Ia lalu mencari
perlindungan di Aceh, lalu membentuk wangsa baru (Lombard, 2007:62).
Tentu saja pembentukan wangsa baru ini sangat berpengaruh terhadap
pemakaian bahasa Aceh sebagai alat komunikasi mereka.
Ada
juga para ahli yang menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan
bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, seperti bahasa Arab, Melayu,
Indonesia, Sanskrit, Persia, Tamil, Belanda, Portugis, Inggris dan dari
bahasa Mon-Khmer di Asia Tenggara.
Penjelasan
di atas membuktikan bahwa Aceh sebetulnya sejak dulu telah memiliki
hubungan dengan bangsa-bangsa luar. Hal ini tentu saja tak dapat
dipungkiri apalagi jika kita mengingat Aceh yang pada masa Sultan
Iskandar Muda pernah mencapai puncak kejayaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar