Selamat Datang Di Blog Info Wisata Alam Di Indonesia

Selasa, 29 Oktober 2013

HUKUM ADAT DAN PRANATA SOSIAL DI ACEH

HUKUM ADAT DAN PRANATA SOSIAL DI ACEH
DR. Teungku Saifullah, S.Ag, M.Pd
(ABIYA DOKTOR)
A.      Latar Belakang Masalah
Aceh penah tercatat dalam sejarah sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat dan bermartabat dalam wilayah Nusantara, terutama pada zaman jayanya Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dari sejarah kesultanan tersebut, Aceh telah mewariskan segunung budaya adat menjadi khazanah sumber perilaku bagi generasi anak cucunya dalam bentuk adat (hukum) dan adat istiadat yang bernilai ritual/agamis, ekonomis dan pembinaan lingkungan hidup serta tatanan kemasyarakatan, bagi kesejahteraan semesta.
Warisan adat itu, secara battom ap diakumulasikan dan diakomodasikan menjadi suatu konsep landasan filosofis masyarakat Aceh (way of life), dalam bentuk Narit Majah: Adat bak poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phahang, Reusam bak Laksamana. Landasan filosofis ini menjadi asas adar Aceh yang ada dalam pertumbuhannya dari masa ke masa mengalami pasang surut, dikarenakan perkembangan system politik pemerintahan Negara dan tantatangan perkembangan budaya global.
Majelis Adat Aceh (MAA) yang merupakan lembaga resmi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang salah satu tugasnya adalah memelihara dan mengembangkan Adat Istiada Aceh dalam rangka menuju masyarakat Aceh yang bermartabat memiliki Visinya adalah sebagai berikut: Membangun Masyarakat Aceh yang Bermartabat Berlandaskan Adat/Adat Istiadat yang Bersendikan Ajaran Islam. Adat Aceh merupakan asset budaya yang sangat berharga bagi masyarakatnya, terutama dalam menegakkan harkat dan martabat kehidupannya. Secara umum menyangkut dengan asset budaya Aceh tersebut dapat dilihat dalam lima aspek, Pertama, aspek kelembagaan dan fungsionaris adat. Kedua, Institusi Pengkajian dan Pengembangan Adat. Ketiga, Adat dan Perilaku Adat Istiadat. Keempat, Monumen, Mesium, Cagar Budaya dan Situs Sejarah. Kelima, Naskah-naskah adat. Sedangkan jika dilihat dari kesiapan implimentasi adat itu sendiri, maka masyarakat (hukum) adat Aceh tersebut memiliki tiga aspek, yaitu Pertama, Struktur Adat. Kedua, Fungsionaris (Ketua-Ketua Adat). Ketiga, Materi Adat.
Adat Aceh dalam peran dan fungsinya digambarkan sebagai: Udep tan adat lagee kapai tan nahkhoda [hidup tanpa adat semacam kapal tanpa nahkhoda]. Bagaiamana eratnya hubungan adat, masyarakat, dan agama, ditemukan jawabanya melalui narid maja berikut: Adat ngon agama, lagee zat ngon sifeut [agama dengan adat seperti zat dengan sifat], karena itu seni suara, seni tari, seni lukis, seni puisi dan prosa, syair, pantun, seni gerak dan lain-lain, selalu sejalan dengan nilai-nilai islami. Peranan tokoh adat, ulama, cendikiawan dan para birikrat dalam sesuatu kawasan budaya amat menetukan perkembangan kehidupan adat, demikian pula halnya berlaku dalam masyarakat Aceh, Peranan fungsianoris adat, dalam perspektif histori tatanan adat Aceh, sejak zaman kesultanan, hingga kurun waktu ini, penuh dengan fluktuasi gelombang krisis berkepanjangan, sehingga tokoh-tooh adat dan kesempatan waktu kehilangan perannya dalam mengembangkan adat bagi kesejahteraan masyarakat. Pergeseran peran tokoh, ulama, fungsionaris dan perhatian birokrat terhadap adat dengan alas an era globalisasi, pendaulatan politik dan kekuasaan nasional, telah membuat situasi termajinalkan peran adat dalam membangun budaya masyarakat.
Sekulumit gambaran di atas, memberikan kesan, bagaimana suka dukanya dalam memartabatkan adat Aceh menjadi bagian dari harkat dan jati diri, untuk berperan global dalam kawasan budaya masyarakat Aceh. Untuk menjawap permasalahan tersebut diperlukan kajian khusus menyangkut dengan dasar-dasar hukum adat yang dapat diimplimentasikan dalam kehidupan nyata.
B.      Pengertian Adat
Adat adalah tradisi tau kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama Dalam nomenklatur adat Aceh khususnya dan adat secara umum, ditemukan dua suku kata yang agaknya hampir tidak ditemukan perbedaan jika dipandang sekilas, akan tetapi jika dilihat secara detail maka keduanya sangat berbeda baik pada materinya maupun pada implimentasinya.
1)     Adat, adalah meliputi materi hukum adat, peradilan adat serta perangkatnya.
2)     Adat Istiada, adalah sama dengan Reusam, dalam berbagai bentuk berupa nasehat, seni tari, seni lukis, seni gerak, syair, pantun, hikayat, upacara/seremonial berbagai kegiatan hidup seperti perkawinan, kenduri Blang, Peusijuk dan lian-lain, Monumen/Meusium, cagar budaya, situs sejarah dan lain-lain dalam berbagai sub etnis Aceh.
C.       Kawasan Adat Aceh
Untuk dapat mengenali dan menerapkan adat secara jelas, maka diperlukan kajian menyangkut dengan Zona atau kawasan-kawasan adat adat itu sendiri
1.       Kawasan Gampong
Gampong adalah merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di bawah Mukim dalam struktur Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan tugas:
1.       Menyelenggarakan Pemerintahan
2.       Melaksanakan Pembangunan
3.       Pembinaan Kemasyarakatan
4.       Peningkatan Pelaksanaan Syari’at Islam
Selanjutnya dalam hal melaksanakan tugas dimaksud, gampong mempunyai fungsi dimana salah satunya adalah Penyelesaikan dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat di Gampong.
Dalam sistem pemerintahan gampong di Aceh, Keuchik memegang kekuasaan kepemimpinan berlandaskan pada “Mono Trias Function [Kemanunggalan kekuasaan dalam tiga fungsi], yaitu kekuasaan eksekutif, sekaligus dengan legislative dan yudikatif disatu tangan (Keuchik). Keuchik tidak pernah otoliter dalam menjalankan kekuasaan, melainkan sangat demokratis, karena semua materi tugasnya dipahami selalu melalui musyawarah dengan pembantu-pembantunya (Imeum Meunasah, Tuha Peut dan Tuha Lapan).
Meunasah adalah merupakan sarana pengembangan agama dan adat bagi gampong, atas dasar itu, maka fungsi meunasah adalah: 1) tempat ibadah dan shalat lima waktu, 2) pendidikan (pengajian), 3) dakwah, 4) diskusi, 5) musyawarah/mufakat, 6) penyelesaian sengketa/damai, 7) pengembangan seni, 8) pembinaan dan pengembangan generasi muda, 9) asah terampil, 10) olah raga, dan 11)tempat istirahat/tidur bagi pemuda laki-laki.
2.       Kawasan Mukim
Mukim sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Camat. Mukim mempunyai tugas:
5.       Menyelenggarakan Pemerintahan
6.       Melaksanakan Pembangunan
7.       Pembinaan Kemasyarakatan
8.       Peningkatan Pelaksanaan Syari’at Islam
9.       Penyelesaikan dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat di tingkat kemukiman.
Pada umumnya tugas Mukim bersifat banding yang diajukan oleh Keuchik, karena tidak selesai pada tingkat Gampong. Pada Kemukiman juga ada Majelis Adat Mukim yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan dibantu oleh Sekretaris  Mukim serta dihadiri oleh seluruh Tuha Peut Mukim. Majelis Adat Mukim berfungsi sebagai :
1.       Badan yang memelihara dan mengembangkan adat
2.       Menyelenggarakan Perdamaian adat
3.       Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan Adat terhadap persilihan-perselisihan dan pelanggaran adat
4.       Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut hukum adat
Keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan Majelis Adat Mukim menjadi pedoman bagi para Keuchik dalam menjalankan roda pemerintahan Gampong.
Mesjid adalah sarana pengembangan agama dan adat bagi masyarakat kemukiman, atas dasar itu, maka fungsi mesjid adalah: 1) tempat ibadah dan jama’ah jum’at, 2) pendidikan (pengajian), 3) dakwah, 4) diskusi, 5) musyawarah/mufakat, 6) penyelesaian sengketa/damai, 7) asah terampil, 10) lembaga silaturrahmi jum’atan, dan 11) simbul persatuan dan kesatuan umat.
3.       Kawasan Lembaga-Lembaga Adat lainnya
Kawasan adat Aceh di samping gampong, kemukiman, juga ada kawasan lembaga-lembaga adat yang diberi kewenagan khusus dalam bidang tertentu.
1)     Keujrun Blang: adalah yang membantu Keuchik di bidang pengaturan dan penggunaan irigasi untuk persawahan.
2)     Panglima Laot: adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur tempat/ area penangkapan dan penyelesaian sengketa.
3)     Peutua Seuneubok: adalah orang memimpin dan mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perdagangan/perkebunan pada wilayah gunung dan lembah-lembah.
4)     Harian Peukan:  adalah orang yang mengatur ketertiban, keamanan, kebersihan pasar serta mengutip restribusi pasar gampong
5)     Syahbandar: adalah orang yang mengatur dan memimpin tambatan kapal/perahu, lalu lintas dan masuk-keluar kapal/perahu di bidang angkutan laut, danau dan sungai.
Semua lembaga-lembaga adat ini merupakan instutusi kelengkapan perangkat Gampong dan mukim yang berfungsi untuk membangun kesejahteraan masyarakat di lingkungan Gampongnya masing-masing.
D.      Sumber dan Dasar Adat Aceh
Dalam masyarakat Aceh sepanjang sejarahnya dikenal ada 4 (empat) sumber adat, yaitu:
1)     Adatullah, yaitu hukum adat yang hamper mutlak didasarkan pada hukum-hukum Allah (Alquran dan Hadis)
2)     Adat Tunnah, yaitu adat istiadat sebagai manisfestasi dari Kanun dan Reusam yang mengatur kehidupan masyarakat.
3)     Adat Muhakamah, yatu hokum adat yang dimanisfestasikan pada asas musyawarah dan mufakat.
4)     Adat Jahiliyah, yaitu adat-Istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun masih digemari oleh masyarakat.
E.       Manfaat Adat
Adat Aceh mengandung 5 (lima) fungsi nilai dalam implimentatifnya, yaitu:
1)     Adat bernilai ritual Islamis
2)     Adat bernilai ekonomis
3)     Adat bernilai pelestarian lingkungan
4)     Adat bernilau ukhuwah (persaudaraan)
5)     Adat bernilai education (Pendidikan)
F.       Fungsianoris Adat
Fungsianoris adat yang dimaksudkan di sini adalah para pimpinan adat baik di tingkat gampong, kemukiman maupun di tingkat kelembagaan adat lainya.
1.       Keuchik, memegang otorita pemerintahan, agama dan adat yang berfungsi sebagai ketua adat masyarakat gampong yang dipilih secara demokratis oleh rakyatnya sendiri secara langsung. Dulu jabatan Keuchik tidak ada batasan waktu, selama tidak mengundurkan diri dan masih disenangi rakyatnya tetap sebagai Keuchik. Akan tetapi sekarang jabatan Keuchik sudah dibatasi selama 5 (lima) tahun, dan dapat dipilih kembali. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Keuchik dibantu oleh Tuha Peut dan Tuha Lapan.
2.       Imeum Meunasah adalah memegang peranan dan otorita di bidang agama dan adat yang merupakan join (mitra sejajar) bagi Keuchik dalam menjalankan agama dan adat. Hubungan Keuchik dengan imum bagi masyarakat gampong adalah sebagai Dwi Tunggal yang menurut Snochik Hurgronje dalam bukunya The Achehnese [Aceh di Mata Kolonialis] adalah Lagee Ku Ngon Ma [seperti ayah dan ibu].
3.       Tuha Peut  (Dewan Empat) Gampong adalah Dewan Empat yang dipilih oleh masyarakat gampong yang terdiri dari empat anggota/pimpinan masyarakat gampong, yaitu: ulama, tokoh adat, tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat. Tuha Peut berfungsi sebagai penasehat dan pertimbangan dalam hal ikhwal masalah masyarakat gampong kepada Keuchik secara aktif dan atau melalui persidangan/munsyawarah.
4.       Tuha Lapan (Dewan delapan) Gampong adalah Dewan Delapan yang dipilih oleh masyarakat gampong yang terdiri dari ulama, tokoh adat, tokoh pemerintahan, tokoh masyaraka, intelektual, pemuda, tokoh wanita dan saudagar (hartawan). Tuha Lapan berfungsi sebagai penasehat dan pertimbangan dan tugas tambahan lainnya dalam hal ikhwal masalah masyarakat gampong kepada Keuchik secara aktif dan atau melalui persidangan/munsyawarah.
5.       Imeum Mukim. Tugas pokok dan wewenang Mukim juga menjalankan fungsi adat, termasuk peradilan adat bagi masyarakat hokum yang berada di wilayahnya. Peradilan mukim merupakan peradilan adat tingkat banding (terakhir), untuk memberikan rasa adil bagi seluruh masyarakat.
6.       Tuha Peut Mukim yang berfungsi sebagai penasehat dan pertimbangan dalam hal ikhwal masalah masyarakat kemukiman kepada Imeum Mukim secara aktif dan atau melalui persidangan/munsyawarah.
7.       Tuha Lapan Mukum yang berfungsi sebagai penasehat dan pertimbangan dan tugas tambahan lainnya dalam hal ikhwal masalah masyarakat gampong kepada Keuchik secara aktif dan atau melalui persidangan/munsyawarah.
Berdasarkan analisa di atas dapat disimpulkan bahwa gampong dan kemukiman merupakan dua kawasan territorial adat yang sejak masa kerajaan sultan sampai abad global sekarang ini, merupakan benteng struktur adat Aceh yang masih lestari dalam ruang lingkup budaya dan system pemerintahan nasional Republik Indonesia dan struktur lembaga adat gampong adalah terdiri dari: 1) Keuchik, 2) Imeum Meunasah, 3) Tuha Peut, dan 4) Tuha Lapan. Keuchik tetap pada Mono Trias Function [kemanunggalan kekuasaan dalam tiga fungsi: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif]. Aktualisasi kekuasaannya terikat dengan musyawarah mufakat dengan struktur lembaga gampong, sehingga mencermikan kekuasaan dan keputusan yang demokratis.
G.      Proses Penyelesaian Perkara
Proses penyelesaian perkara harus melalu beberapa tahapan sebagai berikut:
1.       Penerimaan Perkara
2.       Keuchik member tahukan kepada anggota fungsionaris (hakim) peradilan
3.       Mendengar keterangan dari pihak bersengketa
4.       Penentuan bentuk penyelesaian dan sanksinya
5.       Pelaksanaan Putusan
Dalam menentukan bentuk penyelesaian dan sanksinya perangkat peradilan adat harus berpedoman kepada azas-zas berikut:
1.       Diarahkan pada kerukunan
2.       Dilakukan dengan kompromi
3.       Berdasarkan Keselarasan
4.       Asas Kepatutan
5.       Dilakukan secara formal dan Material
6.       Pemberitahuan bentuk penyelesaian dan sanksi adat
Asas- asas di atas wajib menjadi pedoman bagi perangkat peradilan adat agar terjamin kenyamanan, keadilan dan kepatutan baik proses, sanksi maupun pelaksanaan Putusan.
H.     Penutup
Demikianlah uraian yang dapat disampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan dapat menambah cakrawala berpikir, tatanan perbuatan dan implimentasi adat sehingga memberukan kepastian hokum adat demi kemaslahatan bersama.
Tentu makalah ini banyak sekali kekuranganya, atas dasar itu dimohon kepada seluruh peserta tidak saja dipadai pada materi ini, akan tetapi terus membaca, mempelajari dan mengkaji secara lebih mendalam lagi menyangkut dengan persoalan adat istiadat Aceh khususnya yang merupakan peninggalan indatu kita semua.
 Wasaala, 08 Mei 2013
Direktur Ummul Qura Aceh
 DTO
Dr. Teungku Saifullah, S.Ag, M.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar